Custom Search

Kamis, 07 Agustus 2008

Get Married

Di tengah serbuan para hantu di bioskop, bersyukurlah, karena di Lebaran ini masih ada hadir satu film yang beda. “Get Married” hadir dengan gaya komedi romantis namun tetap konyol dan mengundang tawa. Adalah Starvision Pictures dengan Chand Parwez Servia sebagai Produser yang meluncurkannya. Dan Hanung Bramantyo yang dulu sukses membesut komedi romantis “Jomblo” yang bertindak sebagai sutradaranya. Dan penulis skenario diemban oleh Musfar Yasin yang juga pernah sukses besar dengan menuliskan skenario “Nagabonar Jadi 2”.

Film ini dibintangi oleh artis-artis muda yang tidak diragukan lagi ke-ngocolannya, yakni Nirina Zubir (Mae), Ringgo Agus Rahman (Beni), Aming (Eman), Desta “Clubeighties” (Guntoro). Mereka berperan sebagai sekumpulan sahabat dari kecil di sebuah perkampungan di tengah-tengah kota Jakarta ini, serta Richard Kevin (Rendy) yang menjadi gambaran penghuni sebuah komplek elit diamping perkampungan kumuh itu. Beberapa pemain senior juga turut meramaikan film ini, diantaranya adalah Meriam Bellina (Ibu Mardi / Ibu Mae), Jaja Mihardja (Pak Mardi / Bapak Mae), Ira Wibowo (Ibu Rendy), Ingrid Widjanarko (Ibu Eman), Debby Debora (Ibu Beni), Iga Mawarni (Ibu Guntoro), Epi Kusnandar (Penghulu) dan sebagainya.

Melihat deretan nama diatas, maka, siapa yang tidak tergiur untuk menyaksikan kehebohan film ini?. Demikian yang ada dalam kepala saya sebelum saya menyaksikan langsung pemutarannya. Dan ketika menontonnya, saya mendapatkan jawaban yang tidak mengecewakan. Akting dari para pemain terlihat penuh dengan improvisasi-improvisasi yang menyegarkan. Seperti biasa, Nirina tampil dengan gaya tomboy namun tetap memikat bahkan ketika sisi-sisi feminimnya muncul. Demikian juga dengan Desta yang menurut saya tampil lebih menonjol dibanding para pemain yang lain. Desta tampak luar biasa dan seakan memang seperti itulah gambaran dirinya yang sebenarnya.

Aming juga tampil bagus, Ringgo yang memang dari awal memang identik dengan peran-peran konyolnya pun demikian. Walaupun Ringgo sepertinya menurun kekonyolannya dibanding dalam peran di film-film sebelumnya. Secara umum semuanya tampil baik. Namun, ada beberapa catatan yang menurut saya agak mengganggu. Yakni saat adegan tradisi mereka menginterogasi setiap calon suami Mae, maka pertanyaan “Anak Raja mana?, Anak Sultan mana ?” yang pengucapannya menurut saya “maksain”. Agak janggal dengan intonasi yang gagap. Demikian juga ketika adegan serius saat mereka membuat pengakuan kepada Mae, bahwa mereka masing-masing tidak siap untuk kehilangan Mae bila Mae menikah. Tampak konyol dan emosi yang dikeluarkan terlihat “sebatas akting banget”. Kurang lepas dan belum mampu menyentuh emosi saya.

Musfar Yasin tampil dengan cerita yang penuh dengan sindiran pada tradisi adat, terutama tentang pernikahan, dan sosial politik kekinian yang dengan cerdas dikemas dalam warna komedi. Dan Hanung dengan sigap mampu menerjemahkan skenario tersebut ke dalam layar lebar. Dengan setting perkampungan kumuh yang berbatasan atau bahkan dikelilingi oleh komplek elit di tengah ibukota yang apa adanya tampak realistis. Apalagi dengan musik dangdut tempo dulu ala A. Rafiq yang digarap ulang dan dibawakan oleh Slank, semakin menguatkan suasana segar ketika menonton film ini.

download :

Dukungan Sponsor